Penetrasi ke Chinese Market "Glocalization" Ala Mayora
Penetrasi Danisa—produksi Mayora, ke China dipermudah dengan preferensi rasa konsumen negara berpenduduk terbesar di dunia itu yang tidak jauh berbeda dengan konsumen Indonesia. Namun, strategi glocalization tetap dilakukan dengan mengakulturasi budaya lokal dalam strategi komunikasi produk nasional yang kini telah menjadi nomer satu di beberapa wilayah di negara tirai bambu tersebut. Bagaimana persisnya?
Sejatinya, Mayora sudah lebih dari empat belas tahun menjadi salah satu pemain yang meramaikan pasar yang bullish di China, namun baru dalam tiga tahun terakhir penetrasi pasar tersebut diikuti dengan strategi marketing yang proper. “Awalnya kami hanya sales oriented saja, untuk penjualan dan distribusi kami serahkan sepenuhnya kepada distributor lokal,” kata Kwok Tio Tjen, General Manager China PT Mayora Indah Tbk. kepada MIX. Mayora, kata A Tjen, sudah memiliki perwakilan di Shanghai yang mempekerjakan lebih dari 100 orang, baik dari Indonesia maupun tenaga lokal.
Menurut A Tjen, strategi sales oriented dengan dukungan minim dari Mayora tidak berhasil membuat market bagi dua brand Mayora di China—Danisa dan Kopiko, berkembang seperti yang diiharapkan. Oleh karena itu, Mayora tidak lagi main-main dan memutuskan memberikan full support, khususnya bagi Danisa, yang lebih diterima pasar China dibanding Kopiko. “Kami memperbaiki semuanya, termasuk pricing strategy, sampai dukungan pemasaran melalui strategi komunikasi baik ATL dan BTL,” jelas A Tjen.
A Tjen bercerita bahwa dalam hal media spend, China sudah seperti layaknya negara maju alias termasuk berbiaya tinggi. “Iklan TV sangat mahal, apalagi China secara geografis sangat luas, dan setiap area memiliki TV lokal masing-masing,” jelas A Tjen. Di China, kata A Tjen, masyarakat ternyata lebih suka menonton TV lokal dibanding TV nasional, bahkan popularitas 12 TV nasional termasuk CCTV, ternyata kalah oleh TV-TV lokal yang jumlahnya bisa dua kali lipat dibanding TV nasional. “Bukan hal yang aneh, kalau banyak produsen yang harus merogoh biaya tambahan lebih besar untuk menjangkau masyarakat melalui TV-TV lokal,” kata A Tjen.
Kecuali Kopiko, Mayora memanfaatkan TV-TV lokal ini bagi Danisa—melalui penayangan TVC-nya di 6 TV lokal. “TVC Danisa sudah ditayangkan di TV lokal untuk kota-kota seperti Shenzhen, Guangzhou, Shanghai, dan Hangzhou.” Kata A Tjen.
Danisa, lanjutnya, saat ini sudah bisa ditemukan di hampir seluruh kota besar di China, kecuali daerah sub-urban. “Kami memang masih fokus pada kota-kota besar.” A Tjen menambahkan bahwa terdapat temuan menarik dari budaya masyarakat lokal yang berhubungan dengan cara mereka mengkonsumsi Danisa. “Di China, ada tradisi membawakan ‘makanan antaran’ kepada kerabat atau teman menjelang dua hari raya utama, yaitu Festival Mooncake dan Chinese New Year,” kata A Tjen. Dan di beberapa daerah, lanjut A Tjen, Danisa telah menjadi bagian dari tradisi dan menjadi salah satu jenis kue antaran.
Tradisi antar-mengantar makanan ini, kata A Tjen, sudah berjalan cukup lama, yang kemudian dijadikan salah satu hi-lite oleh Danisa untuk memancing emosi penonton dalam TVC-nya. “Tapi pesan utamanya bukan itu,” kata A Tjen. TVC Danisa yang dibuat oleh agensi setempat ini, kata A Tjen, difungsikan untuk menciptakan citra berkelas bagi produk ini. “Dalam iklannya, kami ingin mengatakan kepada para konsumen kalau mereka seolah akan menjadi raja jika mengkonsumsi Danisa,” jelas A Tjen. Danisa, lanjutnya, memang bermakna mahkota dalam bahasa setempat.
Tapi, pengecualian justru terjadi pada Beiijing, daerah ibu kota di mana sambutan terhadap Danisa tidak sebaik yang ditunjukkan kota-kota lainnya. “Di Beijing, yang menjadi antaran bukan makanan, tapi anggur dari yang lokal sampai impor.” A Tjen bercerita bahwa China dengan daerah geografis yang sangat luas, memang memiliki keragaman dalam hal tradisi masyarakatnya. “Tapi, pada umumnya, karakter konsumen China sangat gandrung pada hal-hal berbau gengsi, prestige, atau barang-barang impor,” jelasnya. Hal ini, ternyata merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan bagi Mayora. “Banyak konsumen yang lebih suka membeli varian Danisa dengan ukuran terbesar,” kata A Tjen. Ada insight menarik yang ditemukan A Tjen, karena konsumen seolah akan malu jika mengantar makanan antaran, termasuk butter cookies seperti Danisa, jika hanya dalam ukuran kecil. “Mereka bilang, orang bisa kehilangan muka kalau memilih makanan ukuran kecil sebagai item antaran,” kata A Tjen.
Untuk memperkuat kesan impor itu, layout kemasan Danisa tetap mempergunakan huruf latin—huruf mandarin dimunculkan sebagian kecil saja. “Tapi, pada Kopiko kami buat dua sisi menggunakan huruf latin dan mandarin dengan proporsi yang sama besar,” tambah A Tjen.
Keuntungan lain didapat dari karakter konsumen China yang less price sensitive sehingga harga Danisa dan Kopiko lebih mahal dibandingkan harga di Indonesia. “Kopiko dijual dalam unit terkecil satu sachet, terdiri dari 6 pcs, seharga 2,5 yuan—setara Rp 3400, sedangkan Danisa ukuran terbesar dijual seharga 100 yuan, setara Rp 136.000,” jelas A Tjen. A Tjen menambahkan, jika dibandingkan dengan produk lokal, harga Danisa di China, hampir tiga kali lipat lebih mahal.
Oleh karena itu, disamping potensi besar yang berhubungan dengan jumlah penduduk, menurut A Tjen, konsumen China memiliki purchasing power yang kuat, dan pertumbuhan ekonomi yang stabil—yang memutuskan Mayora semakin agresif menggarap pasar China. “Selain itu, kami sengaja menetapkan standard harga yang lebih tinggi dibandingkan standard harga di Indonesia, sekaligus kami kemas dengan citra produk impor yang bergengsi,” kata A Tjen. Selain itu, sama seperti produk butter cookies buatan kompetitor, Danisa juga dikaitkan dengan kesan Eropa dan khususnya Denmark—meski produk ini benar-benar 100% diproduksi di Indonesia. Lucunya, meski dalam hal ingredients tidak ada komposisi produk yang disesuaikan dengan selera lokal, Danisa sama sekali tidak dikaitkan dengan Indonesia. “Konsumen akan merasa kurang respect jika mereka tahu kalau produk yang dibelinya berasal dari negara berkembang,” kata A Tjen memberi alasan.
Meski demikian, menurut A Tjen, komunikasi pemasaran di China tidak begitu leluasa seperti yang bisa dilakukan di Indonesia. “Di China, brand activation ternyata bukan sesuatu yang umum dilakukan,” katanya. Yang membuat brand activation di sana menjadi sulit, lanjut A Tjen, adalah menemukan lokasi yang tepat di tengah gedung-gedung yang padat terutama di kota-kota besarnya.” Eksesnya, komunikasi periodik dilakukan di outlet, juga sebagai ekses dari penayangan iklan Danisa yang ‘baru’ akan dimaksimalkan ketika mendekati season Mooncake dan Imlek. “Apalagi media di China sudah sangat crowded,” tambah A Tjen.
Aktivasi di toko ini, juga tak berbeda jauh dengan yang biasa dilakukan di Indonesia. “Seperti konsumen Indonesia, konsumen China juga senang mendapatkan bonus,” katanya. Menurut A Tjen, Danisa sering mengadakan consumer promo termasuk mem-bundling Danisa dengan produk Mayora yang lain, seperti Kopiko dan Astick. “Responnya cukup memuaskan, penjualan bisa melonjak drastis kalau kita mengadakan promo,” kata A Tjen. Strategi bundling ini, kata A Tjen, adalah suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh kompetitor terdekat—brand Denmark, Kelsen, yang hanya memiliki satu varian produk saja. “Banyaknya range product yang menjadi keunggulan kompetitif kami,” tambah A Tjen.
Saat ini, menurut sebuah sumber yang tidak mau disebutkan namanya, Danisa sudah menjadi nomer satu di beberapa area, melampaui Kelsen. Bahkan konon sejak tahun lalu, Danisa tumbuh hampir 100 %. Dan hal ini dikonfirmasi oleh A Tjen. China memang salah satu dari 70 negara pasar eskpor Mayora yang paling menjanjikan—selain ASEAN. Meski demikian, A Tjen mengaku masih memiliki kendala untuk memasarkan Kopiko, karena konsumen China sudah banyak yang health conscious jadi jarang mengkonsumi permen. “Permen bisanya hanya produk seasonal yang dicari menjelang tahun baru,” tutup A Tjen.
How to Penetrate to the Chinese Market:
- Persiapkan tes untuk product acceptance. Jika produk memiliki kompetitor, lakukan blind test. Jika tidak ada kompetitor lakukan tes saja. Sesuaikan komposisi produk, jika hasil blind test menunjukkan produk kurang diterima konsumen.
- Pertimbangkan strategi harga.
- Pertimbangkan konsep produk: Head on atau mencari diferensiasi dengan produk kompetitor.
Penetrasi ke Chinese Market "Glocalization" Ala Mayora
Reviewed by Febby Indra
on
07.39
Rating:
Post a Comment